DASAR-DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN PANCASILA
A.
Dasar
Pikiran dan Rasional
Negara republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 agustus 1945 adalah negara pancasila. Pendekatan prinsipil ini berdasarkan ketentuan yuridis konstitusional bahwa negara Indonesia berdasarkan pancasila, sebagaimana termaktub pembuakaan Undang-undang dasar 1945 alinea 4.
Ketentuan-ketentuan yuridis konstitusional ini, mengandung konsekuensi baik formal maupun fungsional, bahkan inferatif bahwa:
1. Pancasila adalah dasar negara atau filsafat negara Republik Indonesia.
2. Pancasila adalah norma dasar dan norma tertinggi didalam negara Indonesia
3. Pancasila adalah ideologi negara ideologi nasional Indonesia
4. Pancasila adalah identitas dan karakteristik bangsa atau kepribadian nasional, yang perwujudannya secara melembaga sebagai sistem kenegaraan pancasila.
5. Pancasila adalah jiwa dan kepribadian bangsa, pandangan hidup yang menjiwai sistem kenegaraan dan kemasyarakatan Indonesia. Karena itu pancasila adalah sistem filsafat Indonesia yang potensial dan fungsional, yang normatif ideal.
Nilai-nilai dasar disalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya terutama meliputi:
1. Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana dan potensial.
2. Kesadaran kekeluargaan, yang berwujud cinta keluarga sebagai dasar dan kodrat terbentuknya masyarakat dan berkesinambungannya generasi.
3. Kesadaran musyawarah-mufakat dalam menetapkan kehendak bersama ataupun memecahkan masalah-masalah bersama didalam keluarga atau didalam masyarakat sederhana mereka.
4. Kesadaran gotong royong, tolong-menolong, semangat kerja sama sesama tetangga, kampung dan desa yang konsekuensinya wajar adanya kegotong royongan.
5. Kesadaran tenggang rasa yaitu sebagai semangat dalam kekeluargaan dan kebersamaan, hormat menghormati dan memelihara kesatuan, saling pengertian demi keutuhan kerukunan dan kekeluargaan dalam kebersamaan.
B.
Hubungan
Filsafat Pendidikan Pancasila dengan Pendidikan dan Masyarakat
1.
Hubungan
masyarakat dan pendidikan
Hubungan masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan korelasi positif, artinya pendidikan yang maju dan modern menghasilkan masyarakat maju dan modern pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan modern hanya ditemukan dan diselenggarakan oleh masyarakat maju dan modern pula. Hubungan timbal balik yang saling menentukan bahkan hubungan kausalitan maksudnya sebagai hubungan sebab akibat, yakni karena pendidikan masyarakat menjadi maju disatu pihak, sementara dipihak lain pihak pendidikan maju dilaksanakan didalam dan oleh masyarakat maju pula.
Manusia sebagai subjek individual dapat dianalogikan dengan masyarakat atau negara atau bangsa sebagai subjek kolektif, yaitu subjek yang selalu menentukan sikap dan wawasannya, kebijaksanaan dan strategi serta tujuan dan sasaran yang hendak ditempuhnya.
Hubungan masyarakat dengan pendidikan ialah hubungan fungsional yaitu masyarakat sebagai subjek sedangkan pendidikan adalah usaha, aktifitas subjek yang dilakukannya menurut tujuan dan kehendaknya secara mandiri.
Hubungan masyarakat dan pendidikan adalah hubungan fungsional, berarti:
a. Bahwa masyarakat atau negara adalah subjek yang menentukan secara sadar dan mandiri cita karsa atau tujuan dan keinginan luhur yang akan dilakukan dan dicapainya melalui kebijakan, lembaga dan strategi tertentu. Cita karsa ini bersumber dari cita dan tujuan hidup, maka inilah keyakinan hidup dan pandangan hidup suatu bangsa.
b. Bahwa pendidikan baik sebagai usaha, lembaga maupun sebagai program, perwujudannya yang secara nasional iyalah sistem pendidikan nasional wajar bersumber dan ditentukan oleh cita karsa tersebut.
Hubungan fungsional masyarakat pendidikan didalam sistem pendidikan nasional indonesia mencerminkan nilai-nilai filsafat hidup dan filsafat negaranya sebagai sumber nilai, sumber cita, dan kepribadian nasionalnya.
2.
Filsafat
pendidikan
Filsafat pendidikan ialah nilai dan
keyakinan-keyakinan filosofis yang menjiwai, mendasari, dan memberikan
identitas pada suatu sistem pendidikan. Nilai-nilai tersebut bersumber pada
pancasila yang dilaksanakan pada berbagai sistem kehidupan nasional secara
keseluruhan.
Pendidikan nasional haruslah dijiwai oleh filsafat pendidikan pancasila. Filsafat pendidikan pancasila merupakan tuntunan nasional, karena cita dan karsa bangsa atau tujuan nasional dasar hasrat luhur rakyat ini tersimpul dalam pembukaan undang-undang dasar 45 sebagai perwujudan jiwa dan jiwa pancasila, cita dan karsa ini diusahakan secara melembaga didalam pendidikan nasional sebagai sistem, bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup atau filosofi tertentu. Maka melalui sistem pendidikan pancasila akan terjelma cita dan karsa nasional dalam rangka membina watak, kepribadian, dan martabat pancasila dalam subjek privasi manusia indonesia seutuhnya.
C.
Urgensi
Filsafat Pendidikan Pancasila dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Pendidikan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap gejala tersebut memang tidak salah dan wajar. Sebab, dibanding dengan institusi-institusi sosial yang lain, pendidikan merupakan yang paling sarat makna. Pendidikan merupakan pintu masuk untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia berbudi pekerti luhur, berbudaya, berilmu pengetahuan, berketrampilan, berperadaban, dan berkarakter. Karena itu, secara logis mudah dipahami jika di antara tujuan tersebut ada yang tidak tercapai tentu ada yang sesuatu yang tidak beres dalam penyelengaraan pendidikan secara keseluruhan, bisa landasan filosofis, praktik, pendidik, lingkungan, dan orientasi masa depan peserta didiknya serta perubahan kondisi eksternal yang gagal ditangkap oleh penyelenggara dan pemilik otoritas formal kebijakan pendidikan.
Persoalan pendidikan hakikatnya adalah persoalan masa depan, generasi penerus, dan peradaban sebuah bangsa. Tidak ada satu pun bangsa yang tidak ingin punah karena memiliki generasi penerus yang tidak baik. Karena itu, untuk kelangsungan eksistensi sebuah bangsa tumpuannya pada pendidikan. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa yang berperadaban maju hanyalah mereka yang serius mengelola pendidikan. Bagi mereka, pendidikan di atas segalanya dan dihayati sebagai hajat semua anggota masyarakat. Karena merupakan hajat bersama, maka semua bersinergi membangun pendidikan yang baik sehingga melahirkan lulusan yang bekualitas.
Begitu penting misi yang diembannya, pendidikan tidak bisa dijalankan seenaknya, apalagi hanya untuk mengejar kepentingan sesaat, seperti sekadar lulus Ujian Nasional dengan nilai tinggi, masuk perguruan tinggi, menang olimpiade ini dan itu, meraih gelar, bertaraf internasional dan sebagainya. Di atas semua itu, pendidikan adalah proses pemanusiaan secara utuh, meliputi aspek jiwa, intelektual, emosi, hingga spiritualnya. Lebih dari itu, pendidikan juga merupakan praktik untuk menjadikan peserta didik bagian dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga lahir sikap cinta tanah air. Ringkasnya, pendidikan adalah proyek kemanusiaan terus menerus dan tidak pernah berakhir sepanjang bangsa itu ada.
Mencermati kondisi di atas, beberapa kebijakan pendidikan yang selama ini dilakukan memang patut dicermati kembali. Pertama, menyangkut merosotnya karakter bangsa sehingga menimbulkan anomali dan anarkisme dikaitkan dengan dihapuskannya pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekwensi ditinggalkannya nilai-nilai luhur yang selama ini melekat pada bangsa ini, seperti toleransi beragama, gotong royong, dan musyawarah. Padahal, nilai-nilai itu sangat dibutuhkan sebagai fondasi bangsa. Akibat kebijakan tersebut, kini para pendidik mengeluh karena sulitnya menanamkan nilai-nilai tersebut dan dianggap sesuatu yang basi.
Perubahan kebijakan pengajaran Pancasila menjadi Pendidikan Kewarganegaraan berdampak. Buktinya, penanaman nilai-nilai ternyata tidak bisa diperoleh dari pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Sebab, ternyata pelajaran tersebut hanya hafalan dan sekadar menambah pengetahuan. Perubahan pendidikan Pancasila menjadi pendidikan Kerwarganegaraan sangat mereduksi muatan-muatan utama Pancasila yang sarat nilai. Sementara itu, pendidikan Kewarganegaraan lebih mengenai hakikat negara dan bentuk-bentuk kenegaraan, sistem hukum dan peradilan nasional, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, kedudukan warga negara. Mengenai Pancasila hanya disinggung sedikit, itu pun sudah di semester akhir. Karena itu menjadi wajar jika nilai-nilai moral di kalangan peserta didik kita luntur.
Kebijakan pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup masyarakat dan sistem politik pemerintahannya. Perubahan pendidikan Pancasila menjadi pendidikan Kewarganegaraan juga tidak lepas dari perubahan pandangn hidup dan pergeseran sistem politik di Indonesia. Karena itu, seiring dengan perubahan pandangan hidup dan perubahan pemerintahan, pendidikan Pancasila juga tidak luput dari perubahan tersebut. Tahun 1979 mantan Presiden RI Soeharto membentuk sebuah lembaga yang secara khusus mengkaji nilai-nilai Pancasila dan merumuskan program nasional P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Kendati P4 dinilai sebagai proyek hegemoni pemeritah terhadap masyarakat, harus diakui program tersebut berhasil dengan baik. Nilai-nilai Pancasila berhasil merasuk dalam jiwa seluruh warga masyarakat. Tahun 1983, berangkat dari filsafat bahwa bangsa yang besar adalah mereka yang mau mengetahui dan mempelajari sejarah bangsanya, maka pemerintah memandang penting pelajaran sejarah. Karena itu, sejak tahun itu mata Pendidikan Sejarah mulai diajarkan di semua jenjang pendidikan. Tahun 1994, Mata Pelajaran Pancasila dan Sejarah digabung menjadi Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Penggabungan tersebut terasa janggal. Sebab, dengan digabung muatan masing-masing menjadi sangat berkurang. Karena itu, langkah penggabungan tersebut menjadi titik awal memudarnya nilai-nilai moral di kalangan peserta didik yang dampaknya kita rasakan saat ini. Para pengambil kebijakan pendidikan mungkin tidak pernah membayangkan dampak penggabungan tersebut. Karena pendidikan adalah sebuah proses, maka dampaknya baik positif maupun negatif baru akan tampak beberapa tahun kemudian.
Seiring dengan tumbuhnya iklim demokratis yang berkembang pasca-berakhirnya kekuasaan Orde Baru di mana hak politik setiap warga negara dihargai, aspirasi dapat disampaikan dengan bebas di tengah hiruk pikuk eforia politik dan reformasi di semua bidang, maka tuntutan untuk mereformasi Pendidikan Pancasila yang dianggap buah dari Orde Baru tak terelakkan. Hasilnya, pada tahun 2001 Mata Pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) diganti menjadi Mata Pelajaran Kewarganegaraan, tanpa Pancasila. Sejak tahun itu, Pancasila seolah hanya menjadi hiasan dinding di kantor-kantor pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhhammad Noor Syam.1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Zelhendri Zen. 2007. Filsafat pendidikan.
http://mudjiarahardjo.com/artikel/337-runtuhnya-karakter-bangsa-dan-urgensi-pendidikan-pancasila.html (diakses 9 Juli 2012).